“Ketidak” Bebasan Nilai Ilmu Hukum Normatif: Diskursus Filsafat Ilmu Terhadap Kemurnian Ilmu Hukum



Rabu, 16 Desember 2020 - 12:54:43 WIB



Oleh: Dony Y Pebrianto, M.H

 

Diskursus mendasar perihal ilmu hukum dalam ranah filsafat ilmu kerap kali dibuka dengan celetukan akademis, “apakah ilmu hukum itu suatu ilmu?”. Sepintas merupakan pertanyaan sederhana yang dapat saja dijawab dengan jawaban yang juga mungkin sederhana, yakni ilmu hukum adalah ilmu atau sebaliknya bahwa ilmu hukum bukanlah ilmu. Namun tidak halnya disaat ranah tanya ini diangkat dalam suatu diskursus kefilsafatan yang bisa saja membawa pertanyaan singkat tersebut ke alam liarnya pemikiran tak terbatas.

Maka di samping itu pula cukuplah menjadi suatu bantahan terhadap pandangan bahwa kata tanya “apa” lebih meminta suatu jawaban yang tidak analitis mendalam dari pada pertanyaan “bagaimana”.

Bahkan dalam ranah filsafat suatu kata tanpa tanya justru bahkan mampu meliarkan pemikiran dengan dalamnya analisa terlepas kebenaran atau kesalahan, bantahan atau tangkisan terhadap suatu argumentasi. Mengingat filsafat memang menari di dalam perang pemikiran tersebut, karena jika tanpa perang tersebut tentu filsafat bisa saja meredup dan tidak seutuhnya salah jika dikatakan pertanda akan matinya ilmu pengetahuan.

Matinya ilmu pengetahuan tentu bisa saja dianalogikan dengan tercabutnya ruh dari jasad, dimana ruh ilmu pengetahuan itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri, dan jika ilmu pengetahuan itu telah stagnan dan dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak terutama dalam studi humaniora tentu bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu telah mati.

Dalam disertasinya Bernard Arief Sidharta yang hemat saya sangat terpengaruh pemikiran Paul Scholten ini mengemukakan perihal ciri khas ilmu hukum adalah sebagai ilmu praktis yang meletakkan titik tumpunya pada ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya tidak tidak bebas nilai. Juga disebutkan bahwa ilmu hukum mewujudkan medan berkonvergensi berbagai ilmu lain, sehingga secara metodologis mewujudkan dialektika metode normologis dan nomologis.

Pandangan ini bertentangan dan bisa dikatakan kritik terhadap pandangan Hans Kelsen yang bercita-cita mewujudkan kemurnian ilmu hukum yang tentunya terbebas dari anasir-anasir atau unsur-unsur sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.

 Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Namun pandangan tersebut dipandang scholten sebagai suatu upaya yang bisa membuat ilmu hukum menjadi makhluk tanpa darah.

 Dan dalam hal ini saya sendiri menarik tafsiran dari pandangan scholten ini bahwa scholten berpandangan bahwa jika hukum itu dimurnikan dengan bebas nilai maka akan membuat ilmu hukum itu sebagai suatu wujud konkrit tetapi mati.

Jika dipandang lebih jauh, hemat saya pada dasarnya ilmu hukum merupakan suatu konsepsi spesifik, bisa jadi ilmu hukum suatu ilmu humaniora, namun dia berupa humaniora khas tertentu. Bisa juga ilmu hukum digolongkan sebagai ilmu pasti tapi ilmu pasti dengan kekhasannya. Lalu, tentu di saat berbicara kekhasan ini akan ada yang berpandangan bahwa pandangan ini tidak konsisten mengambil suatu jawaban dikala ada selipan “bisa juga”.

 Maka dalam hal ini sebelum mengulas lebih lanjut, saya tertarik dengan suatu ungkapan bahwa jika ada 2 (dua) sarjana hukum berdebat maka akan lahir 3 (tiga) pendapat. Dan tulisan ini bisa dikatakan berposisi pada pendapat ke-tiga di mana tulisan ini berusaha untuk mendamaikan kedua pandangan tersebut dengan suatu pendapat alternative.

Ilmu hukum memang merupakan suatu yang khas, bisa ditilik dari metode penelitiannya saja misalnya. Aroma kekhasan tersebut bisa dilihat dari metode penelitian yang khas dalam pembelajaran metodologinya.

Jika lumrah banyak yang mengetahui dan bahkan memahami mendalam tentang metode penelitian seputaran kualitatif dan kuantitatif, justru ilmu hukum muncul dengan metode yang khas dimana kekhasan tersebut pada umumnya dibagi dalam dua bentuk yakni yuridis normatif dan yuridis empiris. Agaknya dua metode ini bisa dikatakan menjadi anak dari perdebatan terkait apakah ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang bebas nilai ataupun tidak.

Implikasi dari pandangan ini tentu tidak akan mencapai titiknya apalagi hanya berdasarkan tulisan yang teramat singkat ini. Justru keyakinanya adalah semakin memperlebar arah diskusi dan bahkan tidak menutup kemungkinan membuka lapangan diskursus kefilsafatan yang baru.

Pandangan bahwa ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang tidak bebas nilai tentu meletakkan sisi ilmu hukum sebagai suatu ilmu yang bersifat sociological science.

 Dan dalam hal ini Meuwissen bahkan memandang bahwa salah satu ciri ilmu hukum empiris adalah tidak bebas nilai. Pandangan ini tentu meletakkan bahwa pada dasarnya penganut pandangan ini mendudukkan ilmu hukum sebagai suatu ilmu humaniora. Namun tulisan ini berpandangan bahwa sisi humanioranya ilmu hukum tidak terlepas dari kekhasannya yang tentu tidak dapat disamakan dengan ilmu humaniora secara umum.

Kekhasannya terletak dari keberadaan anasir-anasir yang mempengaruhinya tidak secara bebas. Hal ini dikarenakan pada konsepsi ilmu hukum keberadaan suatu nilai memiliki suatau puncak kesamaan yang tidak dapat digeser oleh anasir-anasir di sampingnya secara begitu saja.

Kehadiran anasir-anasir ini tidak akan mampu merubah suatu nilai puncak yang telah mendapatkan tempat secara hakikat.anasir-anasir ini hanya mampu sebatas memperkaya dan mengisi ruang kosong di dalam keilmuan hukum, tetapi tetap saja tidak akan mampu membuat konsep baru sehubungan dengan nilai yang bernilai hakikat. Seperti halnya disaat membedah konspsi utama ilmu hukum tentang keadilan.

Anasir-anasir yang ada dan mempengaruhi mampu menghiasi penafsiran dan pengembangan nilai keadilan, namun tidak mampu mengeliminasi nilai hakikat keadilan itu sendiri sebagai suatu nilai yang baik yang bersumber dari nilai Ketuhanan.

Begitu pula dengan disaat meletakkan kemurnian ilmu hukum itu sendiri yang dalam arti meletakkan hukum dalam kondisi dan posisi bebas nilai. Dalam hal ini Hans Kelsen menggunakan pembedaan kategorial antara what the law it is dan what the law ought to be dengan penjelasan sebagai berikut : Sesuatu yang bersifat seharusnya tidak dapat direduksi menjadi kenyataannya. Atau sebaliknya sesuatu yang senyatanya tidak dapat direduksi menjadi seharusnya.

 Demikianlah maka senyatanya tidak dapat ditumbuhkan dari seharusnya dan sebaliknya. Apakah dalam hal ini ilmu hukum berada dalam lapangan ilmu pasti? Bisa saja mengingat dalam konteks pandangan hukum positivistik bahwa ilmu hukum itu suatu keniscayaan. Namun dalam hal ini, kepastian ilmu hukum juga tidak dapat seutuhnya terlepas dari anasir-anasir yang ada di sekelilingnya.

Pembentukan hukum dan kelahiran hukum tidak terlepas dari unsur-unsur sosiologis dan bahkan historis. Sebab munculnya suatu hukum dan nilai tidak terlepas dari dua aspek tersebut, sehingga bisa juga dikatakan bahwa ilmu hukum itu merupakan bagian dari ilmu pasti, tapi dengan kekhasannya.

Kesimpulannya? Tentu masih jauh sekali mata memandang ke sana, mengingat diskursus ini hanya baru melangkah alih-alih membuka pintu. Tentu diskursus mengenai itu semua masih penting untuk dibuka dalam menjawab pertanyaan apakah ilmu hukum itu suatu ilmu, ataupun pertanyaan apakah bebas nilai atau tidak. Namun tulisan ini justru sedang memulai membuka diskusi menyoal ketidak bebasan nilai ilmu hukum dan mengawali diskusi panjang tentang kemurnian hukum.

 

Penulis adalah: Akademisi Universitas Jambi





Artikel Rekomendasi