Oleh: Viyosi Salsabila*
Sungai Batanghari adalah nadi kehidupan masyarakat Jambi. Ia bukan sekadar jalur air, tapi sumber penghidupan, sejarah, dan identitas budaya. Sayangnya, alih-alih dijaga, sungai ini justru terus-menerus menerima “racun” dari berbagai arah limbah industri, limbah rumah tangga, hingga kerusakan akibat tambang emas ilegal yang semakin masif. Kejadian ini bukan hal baru. Tiap tahun, laporan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi selalu menempatkan kualitas air Sungai Batanghari dalam kategori memprihatinkan. Kandungan bahan berbahaya meningkat, terutama di daerah-daerah padat aktivitas industri dan pertambangan. Namun pertanyaannya: apakah negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, benar-benar hadir menegakkan hukum dan melindungi sungai ini?
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan aturan soal perlindungan lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah dengan tegas melarang siapa pun membuang limbah ke lingkungan tanpa izin. Bahkan, aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 dan berbagai peraturan menteri telah menetapkan standar teknis dan ancaman pidana bagi pencemar lingkungan. Namun, keberadaan regulasi saja tidak cukup. Masalah utamanya adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak perusahaan yang membuang limbah melebihi ambang batas baku mutu air, namun hanya mendapat teguran administratif atau bahkan luput dari tindakan hukum. Di sisi lain, penambangan emas ilegal atau PETI (Penambangan Tanpa Izin) yang nyata-nyata merusak sungai dan ekosistem sekitarnya, terus berlangsung seolah tak tersentuh aparat.
Kondisi ini menimbulkan ironi: hukum ada, tapi tak digerakkan. Sungai rusak, tapi pelaku tak tersentuh. Di sinilah letak kegagalan kita bukan pada kekosongan hukum, tetapi pada ketidaktegasan dalam menjalankannya. Sungai Batanghari bukan milik satu generasi. Ia milik masa depan. Negara melalui pemerintah pusat dan daerah mempunyai tanggung jawab konstitusional untuk menjamin hak setiap warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Artinya, tidak ada ruang untuk pembiaran terhadap pelaku pencemaran, baik itu individu, korporasi, maupun aktivitas ilegal. Pemda Jambi sebenarnya sudah punya perangkat untuk bergerak. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 10 Tahun 2013 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Tapi sayangnya, perda itu belum sepenuhnya diimplementasikan. Masih banyak titik pencemaran yang dibiarkan tanpa intervensi nyata.
Harus ada keberanian politik dan moral dari pejabat di daerah ini untuk menghentikan kerusakan. Jika tidak, kerusakan Sungai Batanghari akan jadi warisan pahit bagi generasi berikutnya. Sudah saatnya penegakan hukum terhadap pencemaran Sungai Batanghari dijadikan prioritas. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi lingkungan harus bersinergi untuk menindak pelaku pencemaran secara tegas. Bukan hanya sanksi administratif yang dijatuhkan, tetapi juga pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021. Lebih dari itu, masyarakat juga perlu dilibatkan. Partisipasi warga dalam pengawasan lingkungan adalah kekuatan yang sering diabaikan. Banyak pencemaran sebenarnya bisa dicegah lebih awal jika ada sistem pelaporan cepat dan keterbukaan data kualitas lingkungan. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan regulasi atau menunggu perubahan dari pusat. Sungai Batanghari ada di depan mata, rusaknya pun terjadi di halaman rumah kita sendiri. Maka, menegakkan hukum dan menjaga sungai adalah tugas yang tak bisa lagi ditunda. Sebab sungai yang kotor adalah cermin dari hukum yang macet. Dan hukum yang macet, pada akhirnya, akan menenggelamkan kita semua dalam kerusakan yang kita biarkan bersama.(*)
Satu Tahun Kemendikdasmen Wujudkan Arah Asta Cita Presiden Melalui Pendidikan Bermutu Untuk Semua
Pebalap Binaan Astra Honda Siap Melesat Kencang di Final ATC Sepang
Urgensi Transparansi Penataan Ruang Sebagai Perwujudan Pemerintahan yang Baik di Indonesia
Pers vs Kreator Konten Digital: Tantangan Regulasi di Era Transformasi Media





