Kontrak Malaysia di Balik Jatuhnya Harga Sawit Indonesia



Senin, 27 Juni 2022 - 08:59:05 WIB



Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*

 

 

 

EcoReview - Larangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO dan turunannya) mulai 28 April hingga 22 Mei 2022 lalu, berbuntut panjang bagi Industri sawit dari hulu ke hilir.

Pelarangan ekspor sawit yang diberlakukan pemerintah ini merupakan kesalahan kebijakan sehingga membuat Malaysia negara kompetitor dalam hal sawit mendapat durian runtuh.

Larangan eskpor sawit membantu kebangkitan sawit Malaysia sebagai pemasok dominan untuk pasar dunia, khususnya India yang merupakan pembeli terbesar produk olahan sawit dalam bentuk CPO.

Berkah yang dinikmati Malaysia itu, berupa harga CPO yang pasca pelarangan ekspor Indonesia naik 9,8 persen dibanding satu bulan sebelumnya. Harga CPO saat itu tercatat 6.400 RM per ton. Selain itu, selain harga yang melonjak importir sawit khususnya di India, China dan Eropa mencari alternatif sawit ke Malaysia.

Sebelumnya Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia menjadi penyuplai kebutuhan India. Namun, ketika pemerintah memberlakukan larangan ekspor sehingga konsumen India beralih ke negara Jiran kita. Malaysia memanfaatkan larangan Indonesia itu dengan memangkas pajak ekspor minyak sawit hingga setengahnya.

Pajak ekspor yang lebih rendah dapat memperbanyak konsumen. Saat ekspor minyak sawit Indonesia ke India berkurang menjadi 35 persen. Sebagai contoh, data ITS perusahaan surveyor kargo menyebut pada 1-5 Mei 2022 saja ekspor CPO Malaysia melonjak 67 persen dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya.

Hal ini memicu pergeseran impor minyak sawit India ini akan menjungkirbalikkan pola dominasi Indonesia yang sudah mapan di negara Asia Selatan tersebut dalam ekspor Sawit.

Malaysia sebelumnya memiliki porsi sekitar 27 persen dari total produksi CPO dunia atau memiliki kapasitas produksi 20 juta ton per tahun.

Sebagai informasi, dalam lima bulan pertama tahun pemasaran 2021-2022, India telah membeli 1,47 juta ton minyak sawit Malaysia jika dibandingkan dengan 982.123 ton dari Indonesia.

Untuk perkiraan pedagang Mei menunjukkan India mengimpor sekitar 570 ribu ton minyak sawit, dengan 290 ribu dari Malaysia dan 240 ribu dari Indonesia.

Dengan absennya Indonesia di pasar CPO internasional pasca pelarangan ekspor, akhirnya Malaysia menjadi penguasa 84 persen total ekspor CPO. Ini realita hari ini buah kebijakan yang keliru dari pemerintah.

Akibatnya, petani dan ekosistem industri CPO di Malaysia kebanjiran kontrak yang berlaku jangka panjang minimum 1 tahun ke depan. Kontrak satu tahun inilah yang menyebabkan harga sawit Indonesia tetap rendah malah anjlok meski kran ekspor telah dibuka.

Ketika pelarangan ekspor CPO dicabut, tidak mudah bagi produsen sawit Indonesia mencari calon buyer karena sudah terikat kontrak dengan Malaysia. Setidaknya butuh waktu 9 bulan untuk membuat harga sawit di Indonesia normal kembali, negara importir melakukan kontrak baru. 

Adanya larangan ini membuat devisa ekspor hilang hingga US$3 miliar per bulan. Hal lain, Indonesia juga tak serta merta dengan mudah mendapatkan kembali buyer CPO di pasar internasional meski mencabut larangan ekspor.

Akibat larangan ekspor ini, stok CPO Indonesia melimpah, di bulan April 2022 saja mencapai 6,103 juta ton. Dimana total konsumsi lokal hanya 1,752 juta ton.

Sebelumnya stok CPO dalam negeri tidak pernah menyentuh 5 juta ton. Jadi kalau saat ini stok sudah 6 juta ton, merupakan kondisi yang gawat darurat. Makanya PKS (pabrik kelapa sawit) banyak yang sudah tutup, tidak bisa lagi produksi CPO karena tidak tertampung. Akibatnya TBS petani tidak tertampung lagi dan harga TBS petani anjlok dan banyak tidak memanen buah lagi.

Saat ini sedih ketika menerima keluhan petani sawit di Riau, Aceh, Jambi, Sumsel hingga Kalimantan. Banyak petani yang memutuskan akan berhenti memanen TBS karena anjloknya harga. Juga, karena sudah ditolak oleh PKS yang tangki CPO-nya kepenuhan.

Akibatnya, banyak petani tidak lagi memanen Sawit. Jika petani tidak panen lagi, Indonesia akan menanggung akibatnya dalam ke depan. Dimana, penundaan panen akan merusak tanaman sehingga tak lagi berbunga dan mengganggu proses pembuahan.

Petani akan kehilangan mata pencaharian. Ini menyangkut nasib 2,5 juta kepala keluarga petani sawit, yang akan jatuh miskin, menganggur, akan kekurangan makan.

Sedangkan dari sisi pabrik data Gapkindo menyebutkan dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup.

Untuk merebut pasar ini kembali tidak semudah membalik telapak tangan, butuh waktu. Tidak semua otomatis bisa kembali normal. Apalagi dampak pelarangan ekspor CPO menimbulkan trauma bagi buyer di luar negeri karena ketidakpastian kebijakan di Indonesia cukup tinggi.

Merebut pasar ekspor yang telah didominasi Malaysia, pemerintah perlu memfasilitasi pemain sawit dengan calon buyer luar negeri untuk normalisasi perdagangan kembali. Semisal ada calon buyer potensial di negara tujuan ekspor CPO maka atase perdagangan dan kedutaan besar bisa fasilitasi business matching.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperluas pasar yang potensial ke negara alternatif misalnya Afrika atau Timur Tengah. Jika tidak fase tunggu menguatnya kembali pasar ekpor terlalu lama untuk ditanggung petani. 


*Pengamat



Artikel Rekomendasi