Ketika Derrida Mempertanyakan Identitas Kemaritiman Kita



Kamis, 29 April 2021 - 13:47:37 WIB



Oleh:  Asyhadi Mufsi Sadzali

 

Batanghari aeknyolah tenang, Biakpun tenang deraslah ketepi” sembari bersenandung sekumpulan anak muda Jambi dengan gagahnya mengibarkan sang saka merah putih di batas pulau terdepan, lalu menancapkannya pada puncak Swarnadwipa, gunung Kerinci. Sedang seoarang sejawatnya tengah duduk santui di café kopi berselancar diatas gelombang informasi menyaksikan prestasi rekannya pada instastory yang menuai ribuan like. Secangkir kopi dalam genggamannya pun telah kandas bersama rembulan yang mulai tenggelam keperaduan malam.

Tak jauh disampingnya, seoarang cukong dan makelar tengah menunggu pesanan tiba sembari mengukur hutan yang tak lagi rimba, dan bertanya “Adakah Batanghari masih seindah dahulu? Masa dimana Wiliam Marsden meluksikan nya serupa mahakarya ilahi dalam buku fenomenalnya The History of Sumatera”. Sang makelar kelabakan untuk  menjawab. Namun anak muda yang telah kehabisan kopinya bergumam dalam pikirannya “Batanghari adalah hadiah dari sang pencipta kepada anak manusia dan dia adalah sebaik-baik warisan paling berharga. Dari It Sing hingga Abu Reyhan Al-Biruni, sejarawan dan geographer terkemuka dari Persia mencatat nya sebagai sungai terpanjang dan tersuci sepanjang peradaban tua swarnadwipa, pulau emas yang kini lebih dikenal dengan nama sumatera. Walau kini nampak keruh dibalut segala dukanya, namun sejatinya namanya bermakna seuntai doa “Hari Hari Avalokiteswara” Demikian makna dari namanya. Sebuah pengharapan akan kedamaian dan kesejahteraan yang terus mengalir pada seganap mahluk disepanjang alirannya dari hulu hingga ke muara.

Dahulu orang-orang Jambi benar-benar hidup harmonis bersama sungai Batanghari. Dimana air masih jernih, ikannya gemuk-gemuk beranak pinak bisa terlihat berenang ketepian. Dan keadaan itu tergambarkan dalam seloko adat Jambi “Negeri aman padi menjadi, air jernih ikannya jinak, Rumput mudo kerbaunya gemuk, Turun kesungai cemetik keno. Naik kedarat perangkap berisi”.

Sangat mengejutkan melihat keyantaan hari ini, dimana sungai Batanghari sedemikian keruh dan terabaikan. Padahal Nawacita bangsa ini adalah Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia. Bukan kah sungai itu juga bagian dari konsep kemaritiman? Peter Boomgaard (2007) dalam bukunya “A World of Water” Mendefenisikan maritim sebagai suatu kebudayaan yang lahir dari hasil interaksi manusia dengan perairan, baik sungai, laut, danau, maupuan rawa. Lebih jauh lagi, bahkan air telah menjadi penentu dalam perkembangan sejarah umat manusia.

Terbukti sejak dahulu sungai menempati kedudukan istimewa, Sejarah membuktikan awal mula peradaban dunia dari tepian-tepian sungai, sebut saja misalnya peradaban sungai Indus, Sungai Eufrat, Sungai Nil dan peradaban sungai Batanghari. Sependapat dengan pernyataan Prof Gusti Asanan (2016) dalam bukunya “ Sungai dan Sejarah Sumatera”, ada semacam paradox, nampaknya konsep sungai sebagai urat nadi kehiduapan telah puluhan tahun putar haluan, menjadi tak lebih sebatas halaman belakang tempat segala limbah disalurkan. Televisi dan media pun telah lama tak menghimbau keberadaan sungai sebagai urat nadi kehidupan. Akan semakin paradox, bila terkenang senandung lagu Batanghari “Batanghari Kebanggan Jambi, Sungai Tepanjang sebatas negeri” dan masih kah Batanghari menjadi kebanggaan Jambi?

Identitas ,kita orang Jambi sebagai bangsa maritim sadar atau tidak telah terekam dalam tradisi lisan, tulisan dan tinggalan budaya materi yang tersebar disepanjang sungai Batanghari. Para peneliti pun telah banyak yang mensyiarkannya, sebut saja William Marsden, M. Yamin, Wolter, A.B Lapian, Codes, Dick Read, Bambang Budi Utomo, yang menggaungkan bahwa Melayu Jambi berdasarkan data empiris historis-arkeologis, kuat mengindikasikan sebagai bangsa maritim penjelajah bahari yang telah mengarungi samudera menuju Madagaskar, Persia, dan China di Utara. Dari Jambi lah melayu tua itu bermula. Sebagaimana It Sing seorang penjelajah dari China meguraikan dalam catatan perjalanannya di tahun 671 M, sebelum berlayar ke Nalanda, India Ia singgah di Moloyo untuk belajar bahasa Sansekerta. It Sing mencatat bahwa Moloyo adalah pulau di selatan laut China, disana terdapat kota dengan tembok tembok bata yang tinggi, pelabuhan utamanya bernama Zabag, dan rajanya bergelar Maharajadiraja, dialah penguasa Swarnadwipa.

Identitas kemaritiman kita yang termahsyur ke tujuh samudera bukanlah sebatas romantika, namun sebuah warisan yang diturunkan kepada generasi penurus, untuk dirawat dan dikembangkan sebagaimana seruan Presiden Soekarno dalam pidatonya pada peringatan hari Samudera pertama tahun 1966 “Mari Kembali Menjadi Bangsa Samudera” lantas dilanjutkan kembali pada masa Presiden Jokowidodo dalam semangat Nawacita “Indonesia Sebagai poros Maritim Dunia”. Pun demikian kita masih saja memalingkan wajah, dan melupakan Batanghari sebagai urat nadi kehiduapan dan akar dari peradaban melayu.

 Setelah turun dari sampan yang disandarkan ditepian sungai melayu, diantara sawit yang menguning di kaki bukit perak, para pakar mencoba menyimak pertanyaan Jacques Derrida “Apakah menjadi melayu harus berlakon budaya maritim, atau sebaliknya menghidupkan budaya maritim untuk menjadi melayu? Sesungguhnya siapakah kita orang melayu Jambi? Terlebih lagi budaya tak lagi harmoni dengan sungai, pun seloko adat tentang sungai mulai tergantikan kata-kata tanpa makna entah dari mana. Sedang identitas tak lagi mengakar kuat pada sejarah, lalu kemana kita akan melangkah?”. Tentu sebagai pencetus teori dekonstruksi, Derrida menyadari persoalan ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan keinsafan Derrida menyarankan terlebih dahulu membongkar mindset masyarakat Jambi terkait sungai, yakni dari sesuatu yang tidak penting dan kerap dijadikan tempat pembuangan limbah, didekontsruksi menjadi pandangan bahwa sungai sebagai sumber kehidupan yang harus dirawat, dan dimanfaatkan sebaik mungkin.

Menjelang senja mentari mulai meredup, hilang diantara ranting-ranting pohon duku di bukit perak. Sembari bersila diantara bata candi yang telah meresap alam semesta selama ratusan tahun, Derrida melanjutkan pertanyaannya “Adakah diantara kalian yang dapat menjelaskan kalimat dalam pita lambang Provinsi Jambi bertuliskan; Sepucuk Jambi Sembilan Lurah? Tentu kalimat itu sangat penting sehingga dijadikan lambang provinsi Jambi. Terlebih lagi telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1969”. Para hadirin yang duduk bersila sontak tercengang.

Seolah tak ingin menambah suasana sunyi, Derrida kembali bicara “Adakah lambang itu tentang sungai-sungai yang memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada masyarakat Jambi dari masa ke masa? Bila jawaban nya benar demikian, lantas kenapa sungai-sungai itu kini keruh, habis terkoyak-koyak penambangan liar, kotor penuh dengan buangan segala macam limbah, dan ikan yang dulu kata orang tua-tua gemuk beranak pinak kini hampir tak ketemu lagi. Adakah selogan itu hanya sebatas kata-kata yang kita rayakan dalam pawai dan kembang api setiap tanggal 6 Januari? Coba renungkan dengan sebaik-baikya renungan insan berakal ber-ilmu lagi ber-budi seperti sejatinya orang melayu Jambi”. Seketika Derrida menghentikan pertanyaannya. Wajahnya menengadah ke langit, menatap cakrawala yang mulai kelabu pertanda purnama akan hadir disinggasana.

Lantas tiba-tiba satu diantara hadirin menatap Derrida dan berkata “Kami mulai paham. Untuk itu adapun langkah awal paling kongkrit adalah membuat Peraturan Daerah tentang perlindungan dan pengembangan Daerah Aliran Sungai Batanghari, kemudian menghentikan semua aktifitas pembungan segala jenis limbah, termasuk perusakan sungai dari penambangan liar, dan kita harus melakukan kampaye holistik berkelanjutan disenap lapisan masyarakat, dari yang muda samapai yang tua. Kalau tidak sekarang, kapan lagi”. Derrida pun tersenyum sembari berdiri dari tempat duduknya, Ia tersenyum kepada hadirin sembari mengibaskan sarungnya, lalu melenggang pulang sambil bersanandung riang “Batanghari aeknyolah tenang, Biakpun tenang deraslah ketepi. Batanghari Kebanggan Jambi, Sungai Tepanjang sebatas negeri”.

 

Penulis adalah: arkeolog dan akademisi Universitas Jambi.

 

 

 

 



Artikel Rekomendasi