Tuah dan Dinasti



Rabu, 06 Maret 2019 - 14:51:54 WIB



Musri Nauli
Musri Nauli

Musri Nauli*

Dalam sebuah acara di Jambi, mantan Ketua KPK-RI 2011-2016, Abrahaman Samad (AS) menceritakan tentang Dinasti Politik yang “berbau” korupsi. Berbagai dinasti Politik yang kemudian berujung dalam skandal kasus korupsi dipaparkan.

Di Amerika dan di India, dinasti politik mewarnai politik. Keluarga Gandhi ataupun Kennedy terus mewarnai politik kontemporer selama dasawarsa tertentu.

Di Indonesia, keluarga Soekarno menjadi trah politik. Keluarga Soekarno dapat menjadikan Presiden. Trah Soekarno terus menjadi nyawa partai politik.

Di Jambi sendiri, dua orang besanan bahkan berbarengan dipenjara untuk mempertanggungjawabkan kasus korupsi di persidangan. Walaupun dalam kasus yang berbeda.

Namun yang disesalkan oleh AS, bukan dinasti seperti di Amerika dan India yang memang berkualitas, mempersiapkan diri jauh-jauh hari memasuki gelanggang politik. Dinasti politik di Indonesia “dikerek” naik hingga berujung kasus korupsi. Selain tidka berkualitas, dinasti yang dibangun cuma ikatan emosional. Bukan jaringan yang kuat.

Kasus-kasus korupsi yang berasal dari dinasti kemudian mengonfirmasikan terjadinya korupsi.

Ditengah masyarakat, kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang menghormati. Seloko seperti “pohon beringin”, “pohonnya rindang. Tempat beteduh. Akarnya tempat besilo. Dahannya tempat begayut’.

Cara menghormati pemimpin sering ditandai dengan seloko seperti “pegi tempat betanyo. Balek tempat beberito”. “Alam sekato Rajo. Negeri sekato bathin”. “Didahulukan selangkah. Dilebihkan sekato”.

Begitu agungnya masyarakat menghormati pemimpin, maka kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari “tuah’. Tuah dilihat dari jejak kepemimpinan, garis keturunan bahkan “tuah” dilihat daripada cara kepemimpinan yang melewati masa krisis.

Tuah itulah yang kemudian masyarakat memilih kepemimpinan.

Dalam pemilihan Kepala Desa (pilkades) misalnya “kepemimpinan” tidak jauh dari lahir keluarga besar kepemimpinan. Entah kakeknya pernah menjadi petinggi negeri (tokoh adat, tokoh agama maupun tokoh masyarakat), pernah menjadi Depati atau Rio, pernah menjadi Pesirah (Setingkat camat).

Alam bawah sadar (alam cosmopolitan) yang menggerakkan masyarakat untuk memilih kandidat tertentu berdasarkan “tuah”. 

Tuah tidak dapat diciptakan, direkayasa, dimanipulasi bahkan ditutupi. Berbagai jejak kades yang terpilih, jejaknya dapat dilihat berdasarkan garis keturunan. Entah kakeknya atau puyangnya yang pernah menjadi pembesar.

Alam magis inilah yang terus menjadi ingatan kolektif masyarakat untuk melihat Pilkades.

Didalam pemilihan Pilkada, jejak tuah masih terus diingat oleh masyarakat. Garis keturunan menjadi factor utama untuk melihat rekam jejak untuk memilih. “Tuah” kepemimpinan terus dilahirkan.

Sebagai orang yang dipilih untuk memimpin “berdasarkan tuah”, sikap menjadi pemimpin terlihat jelas. Berbagai ujaran kebijaksanaan, cara melihat persoalan, tidak memihak, bijaksana, tenang, kaya solusi adalah “tuah’ yang dilahirkan dari garis keturunan. Tuah ini tidak mungkin ditemukan dari pemimpin yang tidak dilahirkan dari tuah kepemimpinan.

Tuah inilah yang menjadi ukuran dari masyarakat untuk memilih.

Sang pemimpin yang dilahirkan berdasarkan tuah kemudian “mati-matian” untuk menjaga nama baik keluarga besar. Dia bahkan rela untuk tidak menikmati kemegahan, ataupun kemewahan karena jabatan pemimpin. Cara dia menjaga amanah kepemimpinan “Semata-mata” untuk menjaga nama baik keluarga besarnya.

Jadi. Walaupun “berdasarkan tuah”, kepemimpinan juga mengalami proses. Keluarga besar “paling paham” siapa keluarga besar yang didorong untuk memimpin. Cara ini biasa dikenal didalam rapat-rapat keluarga besar.

Dalam interaksi dengan tokoh pemimpin, cucu yang sejak kecil bersama dengan kakeknya yang dikenal “tuah” kepemimpinan biasanya lebih condong untuk didorong. Kedekatan sejak kecil yang kemudian mengajarkan kepemimpinan akan menjadi “daya ingat” kepada sang cucu. Pelajaran yang diterima setiap harilah yang menjadi “kekuatan magis” ketika menjadi pemimpin.

Cara ini saya temukan diberbagai Kepala Desa yang saya temukan. Cerita dari kampong justru memperkuat “tuah” dari kepemimpinan.

Di berbagai kisah Raja-raja Jawa, anak yang sudah berumur 8 tahun langsung dipisahkan dari orangtua. Dengan digembleng ilmu kanuragan, ilmu kepemimpinan bahkan ilmu-ilmu sastra, sang calon Raja telah mengalami berbagai ilmu kepemimpinan. Sehingga ketika menjadi Raja diharapkan menjadi “Cahaya penerang” rakyat yang dipimpinnya.

Dengan melihat alur kepemimpinan, maka tuah kepemimpinan yang hidup dialam pemikiran Melayu Jambi berbeda dengan Dinasti yang disampaikan oleh AS. Tuah kepemimpinan justru mengagungkan “kehormatan keluarga”, jauh dari skandal, bersih dari fitnah. Bahkan cara-cara yang dihinakan oleh masyarakat, sangat tabu dilakukan.

 

*Advokat. Tinggal di Jambi





Artikel Rekomendasi