Potensi Pelanggaran Hak Masyarakat Adat di Ibu Kota Nusantara



Selasa, 27 Februari 2024 - 18:15:33 WIB



Oleh: Deki Azhari*

 

 

Masyarakat adat dalam UUD 1945 yang terdapat dalam pasal 18B ayat (2), juga ditegaskan dalam pasal 28I ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, selain itu hak masyarakat adat juga tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan lain.

Pada tahun 2019 silam Presiden Joko Widodo menyampaikan perihal perpindahan Ibu Kota negara ke Penajam Paser Utara Kalimantan Timur dengan berbagai alasan dan faktor-faktor pendorong kenapa harus dipindahkannya Ibukota negara dari Jakarta.

Terkait potensi pelanggaran hak masyarakat adat di Ibu kota negara baru ini dapat dilihat dari proses awal Pembentukan UU IKN yang cukup singkat dan terkesan terburu-buru, ditambah lagi proses konsultasi publik hanya terkesan sebagai formalitas saja.

Singkatnya proses pembahasan sampai diterbitkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang menjadi payung hukum perpindahan ibu kota negara. 

Namun patut dipertanyakan, sudahkah mengakomodir perlindungan terhadap hak masyarakat adat di Penajam Paes Utara-Kalimantan Timur atau bahkan mengesampingkan hak masyarakat adat yang diakui dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selanjutnya, rerhadap tanah masyarakat adat sudah ada permohonan di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 54/PUU-XX/2022 yang diputus pada tanggal 12 Mei 2022, dengan 6 orang pemohon yang salah satunya adalah masyarakat adat Suku Balik, Suku asli di kawasan IKN yang tinggal di wilayah yang masuk lokasi IKN dan berdampak langsung pada proyek IKN.73 

Selain itu 2 diantara pemohon adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, selebihnya adalah akademisi dari beberapa Universitas. Pada intinya permohonan ini mengatakan bahwa pembentukan UU IKN tidak mengakomodir partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningful participation) dimana UU IKN dianggap belum mengakomodir hak-hak masyarakat adat salah satunya terkait pengalihan hak atas tanah, lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU IKN. 

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan pemohon mengenai pengujian formil diajukan melewati tenggang waktu pengajuan formil diajukan melewati tenggang waktu.

Masyarakat adat di daerah IKN secara georgrafis berada di antara hutan-hutan, perkebunan dan sumber alam lain. 

Masyarakat adat diarea pembangunan IKN menghendaki adanya ganti rugi atau kelanjutan penghidupan apabila wilayahnya diambil untuk pembangunan IKN. Misalnya saja sumber daya alam yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adat yang akan berkurang sehingga pemerintah perlu memikirkan pengganti lain. 

Warga adat Kalimantan, termasuk pula warga modern di Kalimantan memiliki kebiasaan menjual tanah dan memiliki tanah tanpa basis bukti surat yang jelas. Hal demikian justru telah terjadi sebelum adanya ide gagasan pendirian IKN. Hal demikian merugikan masyarakat karena tanpa pengetahuan hukum, mereka sebenarnya tidak mendapatkan manfaat dari kepemilikan tanah misalnya. Keadaan seperti ini jika dibiarkan akan mengurangi hak asasi masyarakat adat untuk mendapatkan kondisi perlindungan hukum lebih baik. Menekankan wawasan hukum sudah termasuk memberi hak asasi atas pendidikan kepada masyarakat adat yang berujung pada perlindungan hak mereka lebih lanjut.

Selain itu seperti yang diberitakan dalam suatu media bahwa, Polri dan TNI melakukan intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta berbagai bentuk pelanggaran masyarakat adat, para pembela masyarakat adat yang berjuang mempertahankan haknya, termasuk hak-hak sebagai peladang tradisional.(*)

 

 

Penulis adalah: Mahasiswa Magister Hukum UI*



Artikel Rekomendasi