Oleh: Mochammad Farisi, S.H. LL.M*
(Das Sollen) Demokrasi Indonesia seharusnya menunjukkan hubungan yang koheren dengan esensi cita hukum yg terkandung dlm staatfundamentalnorm, yaitu nilai-nilai Pancasila. Dimana demokrasi berbasis kerakyatan (bukan perseorangan dan/atau kelompok) tapi permusyawaratan/perwakilan yang penuh hikmat kebijaksanaan yang disebut demokrasi deliberatif atau populer dgn istilah musyawarah. Bukan musyawarah abal-abal (mufakat yg pura-pura dimusyawarahkan) namun musyawarah oleh orang-orany yang ber moral kebijaksanaan.
Namun (Das Sein) nya, jauh panggang dari ???? api, sebagai rechtsstaat UUD psl 6A, 22E dan UU otoda pemimpin dipilih secara langsung, yakni berfilosofi individualisme dan liberalisme yg dikembangkan J.Locke n T. Hobbes. Sama sekali tidak menampakkan ciri deliberatif/musyawarah mufakat dgn basis moral kebijaksanaan.
Maka tidak heran saat ini dalam praksis demokrasi kita terdistorsi ke arah politik biaya tinggi, kekerasan, konflik dan bahkan ke arah anarkhisme.
Mengapa kita justru meninggalkan volkgeits bangsa ini, sebuah nilai luhur yang telah dibuat oleh para founding fathers kita yg meletakkan semangat kebersamaan mendasarkan moral ketuhanan dan justru terjerumus dlm demokrasi semu ala barat liberalisme-individualisme yg tidak sepenuhnya cocok dgn jiwa bangsa Indonesia. Pada akhirnya demokrasi Pancasila hanya menjadi hiasan kaligrafi pada konstitusi.
Sebagai negara hukum material / welfare state, negara tidak boleh pasif tp harus proaktif bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan hal itu tidak mungkin bs terwujud bila calegnya dan pemerintahannya korup.
Ternyata tidak hanya anggaran yg defisit demokrasi kita pun saat ini jg defisit, jika manfaat yg diterima oleh masyarakat dgn (demokrasi transaksional) lebih rendah dibanding ongkos menggelar pesta demokrasi. Bahkan akhirnya pun APBN/D juga harus dikeluarkan untuk menggaji politisi yg tidak ngerti tupoksi.
Tahapan pemilu tentu diawali dgn penetapan caleg, lantas bgmn dgn penetapan bacaleg di internal parpol? Sy curiga juga tidak demokratis (cucuk cabut be) bahkan mungkin transaksional. Nampaknya episode pemilu 2024 ini makin banyak 'Petruk Dadi Ratu'
Sebagai akademisi kami hanya bisa mengedukasi melalui opini, harapan ada dipundak politisi yg harus mempraktekkan demokrasi berbasis moral agama, beradab dan mengutamakan kesejahteraan dan keharmonisan, bukan kebebasan model Leviathan.(*)
Dosen FH UNJA & Direktur Pusakademia
Jalan Pulang ke Akar Kebudayaan: Catatan Atas Pameran Koleksi Etnografi Museum Siginjei