Penyelenggara Pemilu Yang Ideal: Fiksi Atau Realita?



Rabu, 25 April 2018 - 10:46:09 WIB



Ditulis oleh : J.B. MARTIEN, SE
Ditulis oleh : J.B. MARTIEN, SE

Penangkapan oknum Komisioner KPUD dan Ketua Panwaslu Kabupaten Garut terkait suap/gratifikasi untuk meloloskan salah satu calon dalam Pilkada kabupaten Garut beberapa waktu yang lalu, tentu menjadi peristiwa yang memalukan Korps Penyelenggara Pemilu. Sangat disayangkan mereka yang dipercaya untuk melaksanakan Pemilu justru menciderai proses demokrasi yang berlangsung. Sindiran dan cibiran pun terlontar, “KPU dan panwaslu saja bisa disuap!”. Cibiran itu semakin keras apalagi menghadapi tahun politik 2018-2019, meminjam istilah anak zaman now, “Luka tapi tak berdarah”.

Untuk itu dalam menghadapi tahun politik 2018-2019, KPU dan Bawaslu harus benar-benar mempersiapkan diri dengan baik. Jangan sampai Pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada 2018 menjadi cacat karena netralitas penyelenggara yang buram. Yang pada akhirnya merusak demokrasi dan tujuan Pemilu itu sendiri.

Mewujudkan maksud dan tujuan ideal penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tentunya harus mempersiapkan penyelenggara pemilu yang ideal pula. Ideal menurut penulis berarti memiliki integritas, profesionalitas, serta sehat jasmani dan rohani.

Rekrutmen yang Kredibel

Untuk mencari penyelenggara pemilu yang berintegritas dan profesional, harus dimulai dari proses rekrutmen penyelenggara pemilu. Tim seleksi pun harus benar-benar profesional dan berintegritas, selain juga harus kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Rekrutmen wajib memperhatikan aspek integritas  dan profesionalitas. Karena jika ada yang tidak beres dalam pemilu, biasanya sasaran utama adalah penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Meskipun banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Maka Penting bagi KPU, untuk menyeleksi anggota yang profesional, punya integritas dan tentu saja harus sehat jasmani serta rohani.

Merujuk kepada Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, seorang Penyelenggara Pemilu harus memiliki, menghayati dan menjaga integritas dan profesionalitas. Dan setelah terpilih nanti wajib menerapkan prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu.

Dalam hal Integritas, penyelenggara Pemilu berpedoman pada prinsip-prinsip: 1. Jujur; 2. Mandiri; 3. Adil; 4. Akuntabel. Sedangkan Profesionalitas seorang komisioner KPU berpedoman pada prinsip-prinsip: 1. Berkepastian Hukum; 2. Aksesibilitas; 3. Tertib; 4. Terbuka; 5. Proporsional; 6. Profesional; 7. Efektif; 8. Efisien; 9. Kepentingan Umum.

Integritas dimaknai juga konsisten dalam perbuatan dan perkataan (satunya kata dengan perbuatan), dan integritas akan semakin kokoh jika kita memiliki konsistensi antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan dan memiliki komitmen terhadap hal-hal tersebut. Dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja sehingga integritas dalam pekerjaan tetap terjaga. Bila tidak memiliki integritas, kita akan kehilangan kredibilitas karena orang lain akan menolak kita karena sudah tidak dipercayai lagi.

Taat asas, jujur dalam melaksanakan tugas sesuai aturan serta menghindari konflik kepentingan demi menjaga kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi penyelenggara pemilu yang kita pimpin.

Kriteria profesional banyak disalahartikan harus memiliki pengalaman di kepemiluan atau menjadi penyelenggara sebelumnya. Seandainya profesional hanya sebatas pengalaman, maka tak perlulah kita merekrut baru calon penyelenggara pemilu, cukup penyelenggara yang lama saja diperpanjang masa tugasnya, lebih praktis dan lebih efisien dari sisi anggaran dan waktu. Namun KPU dan Bawaslu melakukan open rekrutmen, karena “Profesional” bukan hanya sebatas mempunyai pengalaman di bidang kepemiluan, tetapi harus mempunyai dasar pengetahuan dan manajemen pemilu.

Kesehatan jasmani dan rohani tak kalah penting. Sehat diartikan tidak mengidap penyakit yang mengganggu kinerja penyelenggara nantinya, tidak mengkonsumsi narkoba, sehingga siap bekerja penuh waktu. Dan jangan sampai saat bekerja, cepat lelah dan ngantuk. Ataupun tipikal orangnya susah diajak kerja sama, karena kerja penyelenggara adalah team work.

Bukan mencari Kaya

Menjadi Penyelenggara Pemilu bagi sebagian orang adalah prestasi dan kebanggaan tersendiri. Apalagi gaji yang menggiurkan dan fasilitas yang didapatkan, membuat orang-orang berbondong-bondong mengikuti seleksi Calon Penyelenggara Pemilu.

Tapi satu yang harus diingat bahwa tugas berat dan godaan manis telah menanti siapapun yang terpilih nantinya. Melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai seorang penyelenggara adalah mutlak. Jangan sampai hak-hak seorang penyelenggara (gaji dan fasilitas) yang besar, malah membuat kita lupa melaksanakan kewajiban sebagai penyelenggara. Justru gaji dan fasilitas harus disyukuri dengan menjaga profesionalitas dan integritas. Apalagi godaan disaat menjadi Korps Penyelenggara Pemilu sangatlah besar, contoh nyata adalah suap di kabupaten Garut.

Jabatan di KPU dan Bawaslu, bukan jalan mencari kaya. Melainkan jalan pengabdian kepada negara. Menjadi penyelenggara Pemilu itu panggilan hati, bukan karena iming-iming gaji besar ataupun gengsi. Ada tanggungjawab besar menanti seorang penyelenggara pemilu (KPU pun Bawaslu). Baik itu sebagai Komisioner KPU dan panitia turunan dibawahnya, maupun sebagai Panitia Pengawas beserta perangkatnya.

Fiksi atau Realita?

Fiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan. Pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedangkan Realita adalah (bentuk tidak baku dari) realitas, yang bermakna kenyataan.

Pertanyaan saat ini, kriteria Penyelenggara Pemilu yang sudah disebutkan didalam Undang-Undang Pemilu sudahkah terakomodir oleh tim seleksi calon Penyelenggara Pemilu? Wallahu’alam, karena pengalaman penulis mengikuti seleksi Calon Penyelenggara Pemilu. Selain hasil tes tertulis dengan metode CAT yang memang langsung diketahui, rangkaian tes selanjutnya (Psikotes, Kesehatan dan wawancara) tidak pernah diumumkan secara terbuka. Kita “dipaksa” mempercayai pemeringkatan nilai oleh tim seleksi. Keputusan tim seleksi pun menjadi kunci kelulusan peserta seleksi.

Keterbukaan hasil tes seleksi calon Penyelenggara Pemilu, hanya pada tataran retorika dan penulis menganggap masih berupa fiksi. Kenapa? Karena penentuan nama calon penyelenggara hanya berdasarkan subjektivitas pikiran masing-masing tim seleksi. Pemeringkatan hasil tes selain tes tertulis (CAT) tidak pernah dibuka, dan kemudian nama-nama yang menurut pemikiran tim seleksi layak, akan diumumkan tanpa keterangan nilai apapun.

Apakah hasil pemikiran tim seleksi telah sesuai dengan realita hasil rangkaian tes yang dilaksanakan? Nobody knows except them. Saat ini kita hanya perlu berprasangka baik pada tim seleksi yang memang diangkat dari tokoh masyarakat dan tokoh akademisi. Yang tentunya kredibilitas mereka dipertaruhkan, bila ternyata nama-nama yang mereka seleksi tidak memenuhi kriteria yang termaktub didalam Undang-Undang Pemilihan Umum.

Akhirulkalam, tim seleksi juga manusia yang tak luput dari khilaf dan salah, dan kadang juga bisa kikuk mendengar “HP berdering”. Dan Semoga kita mendapatkan penyelenggara pemilu yang lebih baik dari sebelumnya! Hail Timsel! (*)

 

Penulis adalah Wakil Ketua PDPM Kabupaten Sarolangun, Ketua DPD KNPI Kabupaten Sarolangun



Artikel Rekomendasi