Tantangan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dengan Metode Omnibus Law



Rabu, 11 Desember 2024 - 20:17:15 WIB



JAMBERITA.COM - Secara regulasi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Dalam Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan, salah satu metode pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah dengan metode Omnibus Law.

Metode Omnibus merupakan metode pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan yang biasa digunakan oleh negara dengan sistem hukum command law atau negara yang cenderung mengutamakan keadilan hukum dalam penerapan sistem hukumnya. Berbeda dengan sistem hukum yang ada di Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara penganut civil law system, dimana negara berdasarkan aturan hukum tertulis. Negara dengan system hukum civil law mengutamakan kepastian hukum yang berdasarkan kepada Peraturan Perundang-Undangan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang yaitu pemerintah bersama DPR.

Penggunaan metode Omnibus Law dalam pembuatan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia merupakan hal baru, namun secara fungsi Omnibus merupakan metode yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan. Ini sudah pernah digunakan dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebagai contoh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). UU Pemilu mengatur juga soal lembaga penyiaran, partai politik, dan hak asasi manusia tetapi masih dalam koridor pemilihan umum.

Contoh lain penggunaan metode Omnibus dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang ditandatangani pada tanggal 2 November 2020. Berbeda dengan metode Omnibus Law sebelumnya, UU Cipta Kerja disahkan kilat dengan memasukan berbagai macam peraturan lintas sektoral yang sangat luas dan tidak jelas koridor keterkaitannya. Sehingga pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan reaksi masyarakat yang reaktif pasca terbitnya UU dimaksud. Melihat dari fungsi Omnibus Law pada penggabungan UU Cipta Kerja adalah bertujuan untuk meningkatkan dan menciptakan lapangan kerja dengan cara memberikan pelindungan, pemberdayaan, dan kemudahan kepada industri, perdagangan nasional, koperasi, dan UMKM.

RUU Cipta Kerja disusun berdasarkan metode Omnibus Law. Para pejabat pemerintah dan DPR menegaskan RUU ini dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja, memudahkan dan memutus mata rantai korupsi dalam perizinan, dan memperbaiki iklim berusaha. Tetapi sebagian warga melihat proses pembentukan RUU Cipta Kerja tidak mencerminkan pembentukan Perundang-Undangan yang baik. Pemerintah dan DPR memilih menggunakan metode omnibus law dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja karena bersinggungan dengan puluhan Undang-Undang lain. Omnibus law dikenal sebagai metode penyusunan undang-undang sapu jagat, yakni metode pembentukan Undang-Undang untuk mengubah dan memadukan pengaturan mengenai hal-hal tertentu dan berkaitan yang berasal dari beberapa undang-undang sekaligus. Sehingga berpotensi ditunggangi oleh kepentingan politik golongan tertentu, ketidaksesuaian isi dengan judul, penyelundupan pasal, dan penutupan ruang partisipasi publik.

Potensi tantangan yang terjadi dengan metode Omnibus law ini harus diantisipasi sebelum menerapkan metode Omnibus Law dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perlu diterapkan ketentuan-ketentuan khusus dalam penggunaannya. Salah satunya harus memuat pasal-pasal yang saling berkaitan dengan tujuan tertentu, dan mewajibkan UU hanya mengatur satu subjek saja.

UU Nomor 12 Tahun 2011 beserta perubahannya mengatur tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan tidak ada larangan penggunaan metode omnibus ini. Akan tetapi UU juga tidak mengenalkan secara langsung metode omnibus. Oleh karena itu, tidak terlihat batasan penggunaan metode omnibus terhadap pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan, sehingga penggunaan metode ini terkesan melampaui batas kewajaran penggabungan atau overlaping dalam memaknai Undang-Undang yang memiliki keterkaitan. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, perlu diberikan batasan penggabungan terhadap beberapa Peraturan Perundang-Undangan, pasal demi pasal, dan luasnya cakupan penggabungan terhadap peraturan yang mengatur hal-hal yang berkaitan.

Dalam proses pembentukannya, pembuatan Peraturan Perundang-Undangan dimulai dari tahapan perencanaan. Rancangan Peraturan Perundang-Undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan wajib memiliki Naskah Akademik. Kemudian tahap penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan terakhir tahapan pengundangan. Prosedur tetap sebagaimana dimaksudkan juga berlaku terhadap pembuatan Peraturan Perundang-Undangan dengan menggunakan metode Omnibus Law. Sehingga kompilasi dan kodifikasi terhadap aturan yang memiliki keterkaitan dapat dilakukan klasifikasi secara rigit dan runut berdasarkan koridor yang diaturnya. Ini bertujuan untuk meminimalisir resistensi dan cacat bawaan terhadap konsekuensi menggabungkan suatu peraturan.

Penerapan metode omnibus dalam pembuatan Peraturan Perundang-Undangan bukanlah sesuatu yang salah ketika digunakan, namun resiko dan tantangan sebagaimana disebutkan diatas perlu diantisipasi dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan tambahan yang diatur secara tertulis dalam UU pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penggabungan aturan-aturan yang saling berkaitan dapat lebih dipahami dan dilaksanakan, sehingga kepastian dan keadilan hukum dapat tercapai, serta kemanfaatan dari sebuah Peraturan Perundang-Undangan dapat terwujud.

Penulis : Suci Lastari, S.H.





Artikel Rekomendasi