JAMBERITA.COM– Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) telah meluncurkan laporan terbarunya bertajuk "Kebebasan atau Kebencian? Mengkaji Akuntabilitas Platform Media Sosial di Indonesia dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan di Pemilu 2024”. Melalui laporan ini, SAFEnet mencatat, perempuan dan minoritas gender merupakan kelompok yang paling banyak menerima ujaran kebencian selama perhelatan pemilihan umum (Pemilu 2024) lalu.
Perempuan Jadi Korban Paling Banyak
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan, diketahui bahwa perempuan dan LGBTIQ+ menjadi sasaran serangan ujaran kebencian bernuansa politis paling banyak selama Pemilu 2024. Lebih dari 90% ujaran kebencian yang ditemukan menyasar kelompok ini.
“Penelitian menunjukkan bahwa kelompok rentan seperti perempuan, LGBTIQ+, dan etnis minoritas seperti Tionghoa dan Rohingya menjadi sasaran utama ujaran kebencian, yang seringkali mengandung elemen seksisme, xenofobia, dan ancaman kekerasan” papar Muhamad Heychael, investigator utama sekaligus salah satu penulis dalam penelitian ini.
Tim pemantauan juga melakukan eksperimen dengan menguji kanal pelaporan platform media sosial. Pengujian itu membawa tim pada kesimpulan bahwa baik Meta maupun TikTok tidak memiliki kanal aduan yang responsif dan efektif dalam menangani konten ujaran kebencian terhadap kelompok rentan.
“Meskipun ada upaya untuk melaporkan konten ini, moderasi dan akuntabilitas platform seperti Facebook dan TikTok terbukti kurang efektif, dengan sebagian besar konten kebencian masih tersedia meskipun telah dilaporkan” tegas Heychael.
Sebanyak 43 konten dilaporkan pada platform Meta, di mana hanya 15% yang dihapus. Sementara itu, dari 12 konten TikTok yang dilaporkan, tidak satupun yang diturunkan oleh platform tersebut. Bahkan, tanggapan diberikan TikTok dalam waktu yang sangat singkat, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa yang mengambil keputusan moderasi adalah kecerdasan buatan, bukan manusia.
Pentingnya Menuntut Akuntabilitas Platform
Laporan ini memberikan wawasan penting tentang peran platform media sosial dalam penyebaran ujaran kebencian, khususnya yang menargetkan kelompok rentan selama Pemilu 2024 di Indonesia. Melalui analisis yang mendalam, riset ini menilai akuntabilitas platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok dalam mengelola dan merespons penyebaran konten ujaran kebencian terhadap kelompok rentan.
Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet, yang juga penulis laporan, memaparkan hasil analisis kebijakan platform yang telah dilakukan. Menurut Nenden, analisis terhadap platform media sosial di Indonesia menunjukkan belum seluruhnya memenuhi akuntabilitas dalam menangani ujaran kebencian. Salah satu catatan utamanya adalah terkait tidak transparan dan konsistennya platform media sosial dalam melakukan moderasi konten.
Nenden menjelaskan “Terdapat berbagai indikator untuk mengukur akuntabilitas platform digital, namun banyak platform media sosial belum sepenuhnya memenuhi standar akuntabilitas, terutama dalam hal transparansi dan moderasi konten”.
Selama ini, beberapa platform media sosial memang telah meluncurkan laporan transparansi. Namun, laporan transparansi kerap hanya menampilkan data-data agregat kuantitatif, tanpa interpretasi mendalam mengenai dampak-dampak dari moderasi konten yang dilakukan terhadap hak asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi dan hak atas rasa aman.
“Laporan transparansi sering kali berfokus pada kuantitas tanpa kualitas, dan ada banyak inkonsistensi dalam penegakan kebijakan moderasi konten. Celah dalam teknologi deteksi serta perbedaan antara aplikasi mobile dan web juga menjadi tantangan dalam moderasi konten” imbuh Nenden.
Moderasi Konten yang Berperspektif HAM
Melalui riset ini, SAFEnet menyerukan perlunya peningkatan akuntabilitas platform, khususnya dalam melakukan moderasi konten. Hal ini untuk memastikan kebebasan berekspresi serta hak atas rasa aman kelompok rentan tidak dirusak oleh penyebaran ujaran kebencian.
“Kebebasan berekspresi dan hak atas rasa aman yang sama pentingnya di ruang digital. Platform media sosial sebagai perusahaan multinasional memiliki tanggung jawab baik di bawah UN Guiding Principles on Business and Human Rights maupun OECD Guidelines for Multinational Enterprises on Responsible Business Conduct untuk menghormati HAM, melakukan due dilligence, memberikan mekanisme pemulihan yang jelas, dan melakukan human rights impact assessment yang komprehensif” ujar Hafizh Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet.
Berdasarkan analisis yang dilakukan saat Pemilu 2024, SAFEnet mencatat beberapa hal penting yang dapat dilakukan oleh platform media sosial, seperti mengembangkan kerangka kerja moderasi konten yang lebih komprehensif, meningkatkan transparansi dan memperketat pengawasan iklan politik, serta mempermudah mekanisme pengaduan bagi pengguna.
“Kami masih menemukan iklan politik berisi ajakan untuk melahirkan kebijakan diskriminatif bagi kelompok rentan di platform Meta. Walaupun tidak eksplisit berisi hasutan melakukan kekerasan, namun dalam konteks ke-Indonesia-an, kampanye-kampanye berisi kebencian seperti ini dapat melipatgandakan lahirnya peraturan-peraturan dan perda-perda diskriminatif yang menindas kelompok rentan” ujar Hafizh.
“Mekanisme pengaduan juga menjadi PR bagi platform digital. Meta memiliki sistem trusted partners yang terbukti berhasil meningkatkan responsivitas dalam penanganan konten-konten berbahaya. Kami tidak tahu apakah TikTok punya sistem serupa. Namun masalahnya, tidak semua pengguna mengetahui kanal pelaporan milik trusted partners ini. Harusnya, baik laporan dari trusted partners maupun pengguna biasa dapat direspons dengan cepat dan efektif” tambah Hafizh.
Selain itu, SAFEnet juga mendesak pemerintah untuk menghapus pasal-pasal karet dalam Permenkominfo 5/2020 dan mengembalikan kewenangan untuk merekomendasikan serta melakukan moderasi konten-konten berbahaya kepada masyarakat sipil.
“Kewenangan pemerintah saat ini terlalu luas dengan adanya frasa ‘mengganggu ketertiban umum’ dan ‘meresahkan masyarakat’ di Permenkominfo 5/2020. Pemerintah harus segera merevisi pasal ini, karena telah menjadi alat penyensoran dan berpotensi untuk terus disalahgunakan” tegas Hafizh.
Kepada KPU, SAFEnet mengusulkan untuk merevisi pasal penghinaan dalam peraturan KPU mengenai kampanye dengan memperjelas karakteristik individu yang dilindungi. Sementara kepada Bawaslu, SAFEnet menyarankan peningkatan kapasitas bagi pemantau pemilu agar dapat membedakan ujaran kebencian dengan ekspresi yang sah.
“KPU punya PKPU 15/2023 yang isi larangan ujaran kebenciannya masih karet. Seharusnya, larangan bisa mengacu pada definisi ujaran kebencian pada UU ITE baru yang sudah diperketat, dengan ditambahkan identitas gender sebagai salah satu objeknya. Selain itu, Bawaslu juga penting untuk mempersiapkan kapasitas tim pemantaunya untuk dapat membedakan mana ujaran kebencian yang memang harus ditakedown dan mana yang sebenarnya masih dalam koridor kebebasan berekspresi” tutupnya.(*)
Bawaslu Jambi Luncurkan Pemetaan Kerawanan Pilkada 2024, Wilayah Mana Saja?
Nikmati Keuntungan Maksimal di Festival Hari Pelanggan Nasional Honda 2024
HP Ivan Wirata Kejambret di Jakarta, Hati-hati Nomor WA Minta Transfer Uang Dll, Tolong Diabaikan
1.259 Pelajar di Jambi Terima Bantuan Dumisake Pendidikan, Al Haris : Bukti Hadirnya Pemerintah
Peringati HUT RRI ke 79, Ketua KI Diundang Jadi Pembaca Berita
SAH Tegaskan Pemerintahan Prabowo Akan Percepat Pengentasan Penduduk Miskin Perdesaan
Beli All New Honda CB150R Streetfire, Dapatkan Diskon dan Potongan Angsuran