Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
Berdasarkan data BPS, pada Januari 2022 inflasi bulanan Provinsi Jambi sebesar 11,16% (mtm). Dengan angka tersebut, maka secara tahunan Jambi mengalami inflasi sebesar 2, 17% (yoy) dan secara tahun berjalan tercatat inflasi Jambi sebesar 1, 16% (ytd).
Data ini di relay Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jambi, Jumat (11/2/2022) sore lalu. Menurut Bank Indonesia Jambi, jenis barang dan jasa yang menyumbang inflasi adalah yaitu daging ayam ras sebesar 12,67% (mtm), mobil 4,65% (mtm), bahan bakar rumah tangga 4,21 % (mtm), angkutan udara 5,08% (mtm) dan ikan nila 5,03% (mtm).
Bank Indonesia (BI) perwakilan Jambi sendiri terkesan hati - hati merilis ini, bahkan ada kesan mereka menghindar dari menyebut frasa rendah tentang inflasi Provinsi Jambi. Termasuk kalimat yang mengarah pada kesimpulan inflasi rendah tidak disebutkan.
Meski demikian BI tetap menberi batasan bahwa dalam rangka menjaga inflasi tetap berada pada sasaran yang ditetapkan, mereka akan terus memperkuat koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah melalui TPID dan Tim Satgas Pangan untuk menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi yang efektif terkait perkembangan inflasi.
Namun, melihat masifnya pemberitaan tentang, sebagai pengamat saya melihat ada framing opini yang sedang dimainkan, mengemas fakta Inflasi provinsi Jambi rendah agar performance pemerintah tetap optimis.
Secara teoritis, inflasi yang rendah bukan selalu hal yang menggembirakan, bahkan bisa mengindikasikan turunnya daya beli masyarakat akibat pembatasan aktivitas dan mobilitas di bulan - bulan sebelumnya.
Tingkat inflasi bisa diukur dengan indikator Indeks Harga Konsumen (IHK). Inflasi yang diukur IHK kemudian dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran yang di antaranya sebagai berikut : kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar, kelompok sandang, kelompok kesehatan, kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Dalam catatan penulis pergerakan indeks harga konsumen (IHK) yang relatif rendah diakibatkan melemahnya permintaan masyarakat akan barang. Lemahnya permintaan barang dipasar membuat harga tidak terkontraksi, kenaikan harga tak terjadi. Akibatnya, satu sisi, inflasi rendah namun di saat mengambarkan daya beli yang rendah.
Permintaan harga barang atau jasa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan pembeli, harga barang atau jasa yang terkait baik itu pelengkap dan dibeli bersama dengan barang lainnya atau barang pengganti dan dibeli, selera atau preferensi dari konsumen yang dapat mendorong permintaan dan harapan konsumen yang mengacu pada apakah masyarakat yakin harga produk tersebut akan naik atau turun di masa depan.
Penurunan daya beli masyarakat tersebut tidak lepas dari terpukulnya pendapatan masyarakat, khususnya yang mendapatkan pendapatannya secara harian.
Salah satu pemicunya, adalah kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2022 yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kenaikan sebelum pandemi Covid-19 diperkirakan berdampak pada daya beli masyarakat.
Seperti diketahui, UMP Jambi 2022 menjadi Rp 2.649.034,24. Angka ini naik Rp 18.872,11 atau 0,72 persen dari UMP 2021 dan itu tetapkan melalui Keputusan Gubernur Nomor 914 Tahun 2021.
Masalah lain yang membuat daya beli rendah adalah pertumbuhan ekonomi Jambi yang masih ditopang oleh sektor pertanian, pertambangan, perdagangan dan industri pengolahan sebagai sektor unggulan. Sektor ini meski berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tidak memiliki pemerataan yang besar, seiring penguasaan ekonomi yang makin terdesentralisasi pemodal besar.
Buktinya, pertumbuhan ini belum sejalan dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang menurun dari 67,79% pada tahun 2020, menjadi 67,17% pada tahun 2021.
Penurunan tersebut antara lain disebabkan pertumbuhan angkatan kerja sebesar 0,44% (yoy) yang belum diiringi dengan perluasan lapangan kerja.
Termasuk kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan pekerja yang mendapatkan upah secara harian tidak dapat beraktivitas. Kalau masyarakat tidak melakukan kegiatan ekonomi, hampir dipastikan tidak memiliki daya beli.
Bila daya beli masyarakat tidak ditingkatkan, maka konsumsi rumah tangga diproyeksi masih rendah. Hal ini mengingat kelas bawah pada umumnya mengantungkan hidupnya pada upahnya harian, mingguan. Jadi kalau mereka tidak bekerja memang tidak punya daya beli.
Dalam hal ini sebenarnya penting mengatur keseimbangan antara upaya penganganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi di kuartal I dan 2 /2022, di saat varian Omicron kembali meningkat Februari hingga Maret 2022.
Terakhir, Bank Indonesia dalam tugasnya selaku otoritas dan regulator, kita meyakini akan ada pergerakan di tiga koridor bauran kebijakan yaitu kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial
dan kebijakan sistem pembayaran. Namun, bauran kebijakan tersebut juga tidak bisa menjadi the only game in region. Butuh upaya lain, meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat.
* Pengamat
Arti Penting Analisis Revolving Uang Persediaan Dalam Pengelolaan Keuangan APBN
Rencana Jalan Khusus Batubara Akan Melintasi Desa Pematang Gajah, Apa Dampaknya?