Petualangan Intelektual di Hari Pendidikan



Minggu, 02 Mei 2021 - 13:34:33 WIB



Asyhadi Mufsi Sadzali
Asyhadi Mufsi Sadzali

Oleh: Asyhadi Mufsi Sadzali*

 

 

“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”, quote ini diucapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yang yang lahir pada 2 Mei tahun 1889 di Yogyakarta. Sepak terjang dan pengabdiannya pada dunia pendidikan menjadikannya sebagai bapak pendidikan Indoneisa, bahkan tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai hari Pendidikan Nasional. Selain dikenal sebagai Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai satu diantara tiga serangkai yang banyak melakukan perjuangan kemerdekaan dan kritik terhadap pemerintah kolonial. Tak heran bila kemudian aksi-aksinya itu menuai penangkapan dan pengasingan.

Dasar-dasar konsep pendidikan yang dilahirkan Ki Hajar Dewantara dituangkan dalam wujud kongkrit organisasi pendidikan Taman Siswa di Jogjakarta pada tahun 1922. Taman Siswa lahir sebagai alternatif dunia pendidikan yang masa itu dihegemoni oleh kaum kolinial sehingga ada keterbatasan akses bagi kaum pribumi, utama nya dari kalangan rakyat biasa. Sementara paham Ki Hajar Dewantara ber-prinsip bahwa kemerdekaan belajar adalah  hak semua insan. Dan hal ini hingga hari ini masih sangat relevan, dan senada dengan program pendidikan yang ditawarkan oleh Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadim Makarim yakni “Program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar”.

Pada Prinsipnya, baik Taman Siswa maupun Program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar, menekankan kepada prinsip berdikari, dan semangat untuk menempatkan pendidikan disemua lini. Sama seperti tiga semoboyan Taman Siswa; di depan memberikan contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan doroangan. Program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar menekankan peserta didik, terutama mahasiswa untuk melihat keilmuan itu lebih luas, tidak hanya bidang studi yang diambilnya di perguruan tinggi. Justru perlu mendalami multi disiplin ilmu untuk membangun keilmuan utamanya. Maka mereka diberikan kesempatan untuk mengambil mata kuliah diluar program studinya, bahkan diluar universitasnya, atau bisa lintas universitas. Sedangkan pengejewantahan semboyan ditengah membangun semangat, maka mahasiswa dalam program Merdeka Belajar juga dituntut untuk terjun langsung ke tengah masyarakat untuk mengaplikaskan dan membagi llmunya secara rill. Maka terapat program Kampus Mengajar, yakni mahasiswa turun ke sekolah dasar yang tergolong masih akreditasi C untuk di upgrade dan didoring semakin berkembang.

Tidak hanya dibidang pendidikan, tapi program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar juga memberikan kesemptan untuk mengabdi di masyarakat membangun komunitas-komunitas, seperti misalnya komunitas pelestarian cagar budaya, atau komunitas lainnya. ini merupakan suatu gerakan serentak unuk membangun dunia pedidikan dalam lingkup seluas-luasnya. Sehinga tema peringatan hari pendidikan nasional 2 mei 2021 yakni “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”.

Perkembangan paradigma pendidikan di Indonesia tidak lepas dari perkembangan pedidikan dunia, juga kemajuan teknologi. Ditambah lagi situasi “New Normal” hari ini yang kemudian memperkenalkan pembelajaran dalam jaringan, atau tanpa tatap muka dengan pemanfataan teknologi. Ruang-ruang kelas beton kini digantikan ruang kelas virtual dalam beragam jenis aplikasi, mulai dari tingkat pelajar hingga tingkat perguruan tinggi. Bahkan Google sebagai satu aplikasi raksasa telah menjadi tempat bertanya yang mampu mejawab, dan menghadirkan data dari segela bidang keilmuan. Alhasil kondisi itu menggiring pada pelesetkan dengan sebutan “Mbah Google”, karena dianggap bisa menjawab berbagai hal.

Bila di dunia pendidikan, maka kampus memiliki guru besar atau professor yang menjadi pilar kokoh penjaga pengetahuan dan tempat bertanya. Setiap kampus tentu memiliki ini, selain berperan sebagai tokoh, guru besar ini juga menjadi magnet yang mampu mendatangkan murid-murid dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu kepada sang guru. Seperti misalnya bila kita mencontohkan Universitas Gadjah Mada sebagai Top Rangking Universitas Indonesia saat ini, maka muncul beberapa nama guru besar; Prof Sardjito dalam bidang kedokteran, Prof Sartono dalam bidang sejarah, Prof Poerbatjaraka dan guru besar lain yang kemudian melahirkan murid-murid luar biasa seperti Anis Baswedan, Presiden Joko Widodo, Ganjar Pranomo, dan sederat nama besar lainnya.

Kita tentunya sependapat, bahwa “Tujuan utama pengajaran bukan untuk memberikan penjelasan, tetapi untuk mengetuk pintu pikiran”, demikian kata Rabinranath Tagore. Keberadaan seorang guru dalam pengebadiannya membangun pendidikan, ternyata juga turut membangun nama besar kampus serta membawa ikon baru kepada Jogjakarta sebagai kota pelajar, yang didatangani pemuda pemudi dari sabang sampai merauke, bahkan dari luar negeri seperti Malaysia, Korea, Amerika, Eropa, dan Negara lain. Kondisi ini telah berlangsung sejak Indonesia merdeka hingga hari ini. Seperti yang di ibaratkan Philsuf dan sastrawan besar India, Rabinranath Tagore yang karya telah diterjemahkan hampir seluruh bahasa di dunia, bahwa “Guru itu ibarat matahari”, dia memberi, mencerahkan, menyemangati, dan tanpa pamrih, maka namanya abadi sepanjang zaman tercatat dalam lembar sejarah peradaban suatu bangsa.

Sebelum jogkarta yang dijuluki “Kota Pelajar” dan menjadi pusat pendidikan di Indonesia, berabad-abad lampau Jambi pernah menjadi pusat pendidikan di Asia Tenggara. Ada banyak catatan cendikiawan dan penjelajah asing yang mengabarkan keberadaan Jambi sebagai pusat pendidikan yang kini disimpan dalam perpustakaan dunia. Salah satunya kitab Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch’uan’, yang oleh Takakusu (1896) diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul “A Record of Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago (A.D. 671-698). Catatan ini berisi perjalanan It Sing pada abad ke-7 datang ke Muarajambi untuk belajar tata bahasa sansekerta. Kebesaran nama Muarajambi yang menjadikannya tujuan untuk menuntut ilmu, dan hal ini tidak terlepas dari guru besar nya, satu diantara yang paling terkemuka adalah guru Dhamakirti, atau dikenal juga Swarnadwipa Dharmakirti.

Mahaguru Swarnadwipa Dharmakirti selain mengjarkan ilmu seperti Philsafat, Sastra, juga mengajarkan Bodhi Cita di Muarajambi. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh salah satu muridnya yang terkemuka, bernama Athisa Dipamkara Srijnana, yang juga dikenal sebagai tokoh besar Budha di Tibet. Merujuk kepada teks kuno, Athisa datang belajar ke Muarajambi sekitar tahun 1011-1023 Masehi. Kedatangannya tidak terlepas dari kemahsyuran dan kualitas pengetahuan yang ditawarkan di Muarajambi pada masa itu. Kebesaran Muarajambi sebagai pusat pendidikan di Asia Tenggara juga telah diuraikan salah satu arkeolog Indonesia, Dr. Agus Widiytamoko (2015) dalam Disertasi arkeologi Universitas Indonesia berjudul; Situs Muarajambi Sebagai Mahavihara Abad ke-7 Sampai abad ke-12 M. Berumber dari data arkeologi, terlihat betapa luar biasa kedudukan dan peran penting Muarajambi di Asia Tenggara pada masa lampau.

Di hari pendidikan nasional, kita menjelajah dari Jogjakrta hingga ke kompelek percandian Muarajambi yang tersebar dikawasan seluas 3.981 Ha. Suatu petualangan intelektual yang luar biasa dalam rentang waktu hampir seribu tahun. Sejatinya bangsa kita sejak abad ke-7 pernah menjadi pusat pendidikan di Asia Tenggara yang mejadi tujuan para pelajar dari berbagai belahan dunia, tidak hanya It Sing dan Atisa, dari benua Asia, namun juga dari benua lain, dan itu dapat kita saksikan kebesarannya di Komplek percandian Muarajambi tersebar luas dalam tatanan penempatan terstruktur, dan terkoneksi dengan jaringan kanal-kanal kuno.

Muarajambi hari ini, dalam perjalanannya dari abad ke-7 hingga abad 21, telah mengalami beragam dinamika, berawal dari pusat pendidikan, kini menjadi pusat pariwsata nasional. Sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Muarajambi ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Parwisata Nasional. Selain itu, di tahun 2013 Kawasan percandian muarajambi juga telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional, dan kini tengah berproses untuk ditetapkan sebagai Warisan Dunia, oleh PBB melalu UNESCO.

Percandian Muarajambi sebagai warisan luar biasa yang dititipkan leluhur kepada kita tentu harus kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya, terutama dalam bidang pengembangan pengetahuan dan pendidikan. Salah satu contoh misalnya menjadikannya sebagai media pembelajaran para siswa dan mahaiswa, atau juga menajdikannya sebagai labortorium terbuka, serta sebagai lokasi implementasi program Kampus Merdeka-Merdeka Belajar. Hal ini sangat relevan, dan harus diarahkan kapada konsep tersbut. Pun demikian dalam bidang parwisata, dapat diwujudkan suatu parwisata yang edutaiment, edukasi yang bersifar entertainment, dimana pembelajaran berlangsung dengan meyenangkan, yakni sambil berpetualang disebaran situs-situs Muarajambi yang membentang luas disepanjang DAS Batanghari. Tentu wisata bermuatan edukasi, lebih menarik dan dimanati saat ini, dari pada sekedar menjual tiket dengan suguhan sebatas duduk, lihat-lihat, dan selfi-selfi. Kita harus ingat, Muarajambi pernah menjadi pusat pendidikan di Asia Tenggara. Mari serentak bergerak mewujdukan kemajuan pendidikan Jambi. “Selamat Hari Pendidikan Nasional”.*

 

 

Penulis adalah: Arkeolog dan Akademisi Universitas Jambi*



Artikel Rekomendasi