Memimpikan Pers Yang Berkualitas



Kamis, 19 Juli 2018 - 14:49:04 WIB



Clifa Patria
Clifa Patria

Dalam arti sempit pers berasal dari kata (to) press yang berarti mencetak, merujuk kepada surat kabar/majalah. Sedangkan dalam pengertian luas, pers mencakup ke media lain seperti halnya radio dan televisi yang berfungsi memancarkan, menyebarkan informasi, berita, pikiran ke khalayak umum. Namun, tulisan ini akan lebih ditekankan kepada televisi yang mana ini merupakan bagian dari pers kita.

Pada hakikatnya, semua media massa merupakan perpanjangan komunikasi manusia yang berfungsi sebagai menerangkan, mendidikan, mencerahkan, membujuk, dan menghibur. Tetapi pada kenyataan seperti sekarang ini, fungsi pers kini telah beralih (bergeser menjadi menyesatkan, membodohi, meninabobokan, dsb) meskipun fungsi-fungsi lama seperti sebagai media informasi,  media pendidikan, media hiburan dan media kontrol sosial masih berlaku. Sebagian konsep lama tentang pers mungkin tidak relevan lagi, sedangkan konsep-konsep baru bermunculan seperti jurnalistik sastra, jurnalistik damai, edutainment (acara TV yang mengandung pendidkan dan hiburan), dan infotainment (acara TV yang mengandung penerangan dan hiburan). Sampai detik ini tampaknya belum ada istilah yang tepat untuk orang-orang yang gemar memburu gosip di seputar selebritis kita, apakah mereka wartawan (beneran), paparazi, atau pemburu gosip. Hal ini juga menimbulkan kontroversi lain seperti apakah mereka terikat dengan kode etik jurnalistik atau tidak?

Pada zaman ini, pers kita telah berkembang pesat dari waktu sebelumnya. Walaupun ini baru berdasarkan aspek kuantitas (jumlah media, keragaman, rubrik, jumlah halaman, dsb). Namun pada aspek kualitas, pers kita masih dikatakan memble. Jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, padahal pers kita ini ini sudah dijuluki dengan pers perjuangan.  Pada masa dewasa ini segelintir pers kita memang masih memiliki upaya untuk mencerdaskan bangsa, akan tetapi sebagian besar pers kita masih meninabobokan khalayak umum dengan konten-konten yang dipublikasikan/menyiarkan tulisan, gambar, atau acara yang membodohi mereka dalam berkehidupan. Beberapa TV swasta kita yang menyiarkan acara-acara langsung (termasuk acara yang yang disebut reality show) dan pemberitaan (khususnya kriminal) sebenarnya mempromosikan produk jurnalistik hedonistik, jurnalistik remeh-cemeh, jurnalistik klenik (perdukunan) atau jurnalistik sadistik.

Dibandingkan dengan acara TV di Barat yang pernah saya saksikan dalam tempo waktu itu di YouTube, TV di negara kita ini jauh lebih hedonistik. Bisa kita lihat contohnya diAmerika itu misalnya, mereka dikenal dengan gudangnya selebritis akan tetapi mereka tidak pernah menayangkan selebritisnya setiap hari. Amerika juga dikenal juga dengan masyarakatnya yang gila hiburan, akan tetapi juga mereka tak pernah menayangkan acara musik yang nyaris setiap hari TV kita lakukan setiap harinya. Menilik dari begitu banyaknya acara infotainment yang disiarkan setiap harinya oleh TV swasta kita (Was-Was, Silet,  Karma, Halo Selebriti, dsb) mungkin bisa kita tarik kesimpulan bahwa negara kita layak disebut "kerajaan selebritis". Seolah-olah hal remeh-cemeh yang dilakukan selebritis kita seperti berpacaran, konflik rumah tangga, putus cinta, ghibah (dilarang dalam agama Islam di Surah Al-Hujurat Ayat 12) sudah menjadi hal yang sangat biasa.

Tatkala ada selebritis kita yang sedang menjalani proses melahirkan tiba-tiba ada seorang wartawan TV masuk dan menyorot ke dalam kamar tersebut. Padahal hal tersebut sangatlah tidak etis. Belum lagi dalam pemberitaan kriminal dalam TV kita pun menyedihkan. Adapun tujuan dalam pemberitaan seperti ini adalah guna memberikan efek jera bagi pelaku dan membuat orang-orang berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi yang terjadi peristiwa malah didramatisasi dan dieksplotasi. Kamera menyoroti darah-darah yang berceceran serta bangkai manusia manusia yang telah membusuk. Hal-hal yang sadis seperti ini sangat tak pantas untuk disiarkan. Padahal di Amerika menganut sistem pers liberal namun mereka sangat membenci dan menentang publikasi  tersebut karena tak manusiawi.

TV di negara kita juga dalam memberitakan tentang kasus perkosaan juga sangat vulgar, misalnya memperlihatkan celana dalam, dua pasang kaki yang saling bergesekan dsb. Belum lagi adegan direka-ulang tentang perburuan penjahat. Acara-acara seperti inilah yang dimaksud karena sudah lebih liberal daripada acara-acara TV di Barat. Kebanyakan TV kita tak mempunyai karakter. Tak heran jika pembawa acara hanya itu-itu saja.

Pernahkah kita menyadari bahwa pers sesungguhnya mempunyai kekuatan yang luar biasa dan mampu mengubah pola pikir masyarakat serta dapat membangun suatu bangsa? Jika pers kita saat ini masih kebanyakan hiburan (acara-acara tak berfaedah), remeh-cemeh bangsa kita tetap akan loyo hingga kapanpun. Keluaran (output) bergantung pada pemasukan (input). Kalaulah masyarakat kita selalu diberikan dengan gambar-gambar porno, berita remeh-cemeh tentang kehidupan selebritis kita, pembunuhan, perkosaan ataupun perburuan hantu, lalu apa keluarannya? Sungguh ironis jika kita mengharapkan mereka untuk berubah menjadi lebih lebih cerdas, disiplin, jujur, dsb.

Sungguh saya bermimpi bahwa sebagian pers kita akan berwibawa jika mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya sekadar kata basa-basi. Dibutuhkan tekad dan niat yang kuat untuk hal itu, karena praktik jauh lebih berharga daripada hanya sekadar omongan belaka. (Cpm)

 

Oleh : Clifa Patria Mahasiswa UIN STS Jambi sekaligus Wartawan Jamberita.com



Artikel Rekomendasi